Senin, 09 Maret 2009

TORAJA OF LEGEND

LEGENDA


Menurut mitos, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan "tangga dari langit" untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa - dalam bahasa Toraja).

Lain lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang antropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk lokal yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Tiongkok). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indochina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.

Aluk

Aluk adalah merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa oleh kaum imigran dari dataran Indochina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.

Aluk Sanda Saratu

Tokoh penting dalam penyebaran aluk ini antara lain: Tomanurun Tamboro Langi' yang merupakan pembawa aluk Sanda Saratu yang mengikat penganutnya dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.

Aluk Sanda Pitunna

Wilayah barat

Tokoh penting dalam penyebaran aluk ini di wilayah barat Tana Toraja yaitu : Pongkapadang bersama Burake Tattiu' yang menyebarkan ke daerah Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba'bana Minanga, dengan memperkenalkan kepada masyarakat setempat suatu pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja "to unnirui' suke pa'pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata sosial yang tidak mengenal strata.

Wilayah timur

Di wilayah timur Tana Toraja, Pasontik bersama Burake Tambolang menyebarkannya ke daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta'bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan memperkenalkan pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : "To Unnirui' suke dibonga, To unkandei kandean pindan", yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.

Wilayah tengah

Tangdilino bersama Burake Tangngana menyebarkan aluk ke wilayah tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial "To unniru'i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan".

Kesatuan adat

Seluruh Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo ( wilayah Tana Toraja) diikat oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo yang secara harafiahnya berarti "Negri yang bulat seperti bulan dan Matahari". Nama ini mempunyai latar belakang yang bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.

Karena perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah nama perserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup dan keyakinan sebagai pengikat seluruh daerah dan kelompok adat tersebut.

Upacara adat

Di wilayah Kab. Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat terkenal , yaitu upacara adat Rambu Solo' (upacara untuk pemakaman) dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu', serta Ma'nene', dan upacara adat Rambu Tuka. Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka' maupun Rambu Solo' diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam ragamnya.

Rambu Solo

Adalah sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga yang almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.

Tingkatan upacara Rambu Solo

Upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:

  • Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja.
  • Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
  • Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
  • Dipapitung Bongi:Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan.

Upacara tertinggi

Biasanya upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu sekurang kurangnya setahun, upacara yang pertama disebut Aluk Pia biasanya dalam pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan disebuah lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti : Ma'tundan, Ma'balun (membungkus jenazah), Ma'roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma'Parokko Alang (menurunkan jenazah kelumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma'Palao (yakni mengusung jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir).

Berbagai kegiatan budaya yang menarik dipertontonkan pula dalam upacara ini, antara lain :

  • Ma'pasilaga tedong (Adu kerbau), kerbau yang diadu adalah kerbau khas Tana Toraja yang memiliki ciri khas yaitu memiliki tanduk bengkok kebawah ataupun [balukku', sokko] yang berkulit belang (tedang bonga), tedong bonga di Toraja sangat bernilai tinggi harganya sampai ratusan juta; Sisemba' (Adu kaki)
  • Tari tarian yang berkaitan dengan ritus rambu solo' seperti : Pa'Badong, Pa'Dondi, Pa'Randing, Pa'Katia, Pa'papanggan, Passailo dan Pa'pasilaga Tedong; Selanjutnya untuk seni musiknya: Pa'pompang, Pa'dali-dali dan Unnosong.;
  • Ma'tinggoro tedong (Pemotongan kerbau dengan ciri khas masyarkat Toraja, yaitu dengan menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas), biasanya kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu.

Kerbau Tedong Bonga adalah termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) merupakan endemik spesies yang hanya terdapat di Tana Toraja. Ke-sulitan pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat plasma nutfah (sumber daya genetika) asli itu terancam kelestariannya.

Menjelang usainya Upacara Rambu Solo', keluarga mendiang diwajibkan mengucapkan syukur pada Sang Pencipta yang sekaligus menandakan selesainya upacara pemakaman Rambu Solo'.

Rambu Tuka

Tarian Manganda' pada upacara Ma'Bua'

Upacara adat Rambu Tuka' adalah acara yang berhungan dengan acara syukuran misalnya acara pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru, atau yang selesai direnovasi; menghadirkan semua rumpun keluarga, dari acara ini membuat ikatan kekeluargaan di Tana Toraja sangat kuat semua Upacara tersebut dikenal dengan nama Ma'Bua', Meroek, atau Mangrara Banua Sura'.

Untuk upacara adat Rambu Tuka' diikuti oleh seni tari : Pa' Gellu, Pa' Boneballa, Gellu Tungga', Ondo Samalele, Pa'Dao Bulan, Pa'Burake, Memanna, Maluya, Pa'Tirra', Panimbong dan lain-lain. Untuk seni musik yaitu Pa'pompang, pa'Barrung, Pa'pelle'. Musik dan seni tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo' tidak boleh (tabu) ditampilkan pada upacara Rambu Tuka'.

Nilai Tradisi Vs Keagamaan

DALAM kepercayaan asli masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk Todolo, kesadaran bahwa manusia hidup di Bumi ini hanya untuk sementara, begitu kuat. Prinsipnya, selama tidak ada orang yang bisa menahan Matahari terbenam di ufuk barat, kematian pun tak mungkin bisa ditunda.

Sesuai mitos yang hidup di kalangan pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang telah meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo; dunia arwah, tempat berkumpulnya semua roh. Letaknya di bagian selatan tempat tinggal manusia. Hanya saja tidak setiap arwah atau roh orang yang meninggal itu dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo. Untuk sampai ke sana perlu didahului upacara penguburan sesuai status sosial semasa ia hidup. Jika tidak diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan tidak sempurna sesuai aluk (baca: ajaran dan tata cara peribadatan), yang bersangkutan tidak dapat mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.

"Agar jiwa orang yang ’bepergian’ itu tidak tersesat, tetapi sampai ke tujuan, upacara yang dilakukan harus sesuai aluk dan mengingat pamali. Ini yang disebut sangka’ atau darma, yakni mengikuti aturan yang sebenarnya. Kalau ada yang salah atau biasa dikatakan salah aluk (tomma’ liong-liong), jiwa orang yang ’bepergian’ itu akan tersendat menuju siruga (surga)," kata Tato’ Denna’, salah satu tokoh adat setempat, yang dalam stratifikasi penganut kepercayaan Aluk Todolo mendapat sebutan Ne’ Sando.

Selama orang yang meninggal dunia itu belum diupacarakan, ia akan menjadi arwah dalam wujud setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan dari jiwa manusia yang telah meninggal dunia ini mereka sebut tomebali puang. Sambil menunggu korban persembahan untuknya dari keluarga dan kerabatnya lewat upacara pemakaman, arwah tadi dipercaya tetap akan memperhatikan dari dekat kehidupan keturunannya.

Oleh karena itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang berkaitan dengan kematian sedapat mungkin harus dijalankan sesuai ketentuan. Sebelum menetapkan kapan dan di mana jenazah dimakamkan, pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan korban pun harus disiapkan sesuai ketentuan. Pelaksanaannya pun harus dilangsungkan sebaik mungkin agar kegiatan tersebut dapat diterima sebagai upacara persembahan bagi tomebali puang mereka agar bisa mencapai puyo alias surga

Jika ada bagian-bagian yang dilanggar, katakanlah bila yang meninggal dunia itu dari kaum bangsawan namun diupacarakan tidak sesuai dengan tingkatannya, yang bersangkutan dipercaya tidak akan sampai ke puyo. Rohnya akan tersesat. Sementara bagi yang diupacarakan sesuai aluk dan berhasil mencapai puyo, dikatakan pula bahwa keberadaannya di sana juga sangat ditentukan oleh kualitas upacara pemakamannya. Dengan kata lain, semakin sempurna upacara pemakaman seseorang, maka semakin sempurnalah hidupnya di dunia keabadian yang mereka sebut puyo tadi.

To na indanriki’ lino
To na pake sangattu’
Kunbai lau’ ri puyo
Pa’ Tondokkan marendeng
Kita ini hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat. Sebab, di puyo-lah negeri kita yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan hidup yang sesungguhnya.

Bisa dimaklumi bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak keluarga dan kerabat almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik. Caranya adalah dengan membekali jiwa yang akan bepergian itu dengan pemotongan hewan-biasanya berupa kerbau dan babi-sebanyak mungkin. Para penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang yang meninggal dunia tadi menuju ke puyo.

Kepercayaan pada Aluk Todolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu padangan terhadap kosmos dan kesetiaan pada leluhur. Masing-masing memiliki fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat. Jika terjadi kesalahan dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti dalam hal "mengurus dan merawat" arwah para leluhur, bencana pun tak dapat dihindari.

Berbagai bentuk tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh para penganut kepercayaan Aluk Todolo-termasuk ritus upacara kematian adat Tana Toraja yang sangat dikenal luas itu-kini pun masih bisa disaksikan. Meski terjadi perubahan di sana-sini, kebiasaan itu kini tak hanya dijalankan oleh para pemeluk Aluk Todolo, masyarakat Tana Toraja yang sudah beragama Kristen dan Katolik pun umumnya masih melaksanakannya. Bahkan, dalam tradisi penyimpanan mayat dan upacara kematian, terjadi semacam "penambahan" dari yang semula lebih sederhana menjadi kompleks dan terkadang berlebihan.

Sebagai contoh, ajaran Aluk Todolo menghendaki agar orang yang meninggal dunia harus segera diupacarakan dan secepatnya dikuburkan. Maksud dari ajaran ini, seperti dikutip oleh M Ghozali Badrie dalam penelitiannya tentang "Penyimpanan Mayat di Tana Toraja", supaya keluarga yang ditinggalkan dapat melaksanakan upacara-upacara lain yang bersifat kegembiraan. Sebab, adalah pamali atau melanggar ketentuan aluk bila upacara kegembiraan (rambu tuka’) dilaksanakan bila ada orang mati (to mate). Untuk mengatasi hal yang berlawanan ini, masyarakat Tana Toraja lalu mengatakan, mayat tersebut belum mati, tetapi dianggap sebagai orang yang masih sakit (to makula). Dengan begitu, mereka yang ingin melaksanakan upacara rambu tuka’ tidak terhalang hanya karena ada mayat di kampung tersebut.

Pemakaman

Peti mati yang digunakan dalam pemakaman dipahat menyerupai hewan (Erong). Adat masyarakat Toraja adalah menyimpan jenazah pada tebing/liang gua, atau dibuatkan sebuah rumah (Pa'tane).

Beberapa kawasan pemakaman yang saat ini telah menjadi obyek wisata, seperti di :

  • Londa, yang merupakan suatu pemakaman purbakala yang berada dalam sebuah gua, dapat dijumpai puluhan erong yang berderet dalam bebatuan yang telah dilubangi, tengkorak berserak di sisi batu menandakan petinya telah rusak akibat di makan usia. Londa terletak di desa Sandan Uai Kecamatan Sanggalai' dengan jarak 7 km dari kota Rantepao, arah ke Selatan, Gua-gua alam ini penuh dengan panorama yang menakjubkan 1000 meter jauh ke dalam, dapat dinikmati dengan petunjuk guide yang telah terlatih dan profesional.
tengkorak di bebatuan gua, Londa. Juli 2008
  • Lemo adalah salah satu kuburan leluhur Toraja, yang merupakan kuburan alam yang dipahat pada abad XVI atau setempat disebut dengan Liang Paa'. Jumlah liang batu kuno ada 75 buah dan tau-tau yang tegak berdiri sejumlah 40 buah sebagai lambang-lambang prestise, status, peran dan kedudukan para bangsawan di Desa Lemo. Diberi nama Lemo oleh karena model liang batu ini ada yang menyerupai jeruk bundar dan berbintik-bintik.
  • Tampang Allo yang merupakan sebuah kuburan goa alam yang terletak di Kelurahan Sangalla' dan berisikan puluhan Erong, puluhan Tau-tau dan ratusan tengkorak serta tulang belulang manusia. Pada sekitar abad XVI oleh penguasa Sangalla' dalam hal ini Sang Puang Manturino bersama istrinya Rangga Bualaan memilih goa Tampang Allo sebagai tempat pemakamannya kelak jika mereka meninggal dunia, sebagai perwujudan dari janji dan sumpah suami istri yakni "sehidup semati satu kubur kita berdua". Goa Tampang Alllo berjarak 19 km dari Rantepao dan 12 km dari Makale.
  • Liang Tondon lokasi tempat pemakaman para Ningrat atau para bangsawan di wilayah Balusu disemayamkan yang terdiri dari 12 liang.
  • To'Doyan adalah pohon besar yang digunakan sebagai makam bayi (anak yang belum tumbuh giginya). Pohon ini secara alamiah memberi akar-akar tunggang yang secara teratur tumbuh membentuk rongga-rongga. Rongga inilah yang digunakan sebagai tempat menyimpan mayat bayi.
  • Patane Pong Massangka (kuburan dari kayu berbentuk rumah Toraja) yang dibangun pada tahun 1930 untuk seorang janda bernama Palindatu yang meninggal dunia pada tahun 1920 dan diupacarakan secara adat Toraja tertinggi yang disebut Rapasan Sapu Randanan. Pong Massangka diberi gelar Ne'Babu' disemayamkan dalam Patane ini. tau-taunya yang terbuat dari batu yang dipahat . Jaraknya 9 km dari Rantepao arah utara.
  • Ta'pan Langkan yang berarti istana burung elang. Dalam abad XVII Ta'pan Langkan digunakan sebagai makam oleh 5 rumpun suku Toraja antara lain Pasang dan Belolangi'. Makam purbakala ini terletak di desa Rinding Batu dan memiliki sekian banyak tau-tau sebagai lambang prestise dan kejayaan masa lalu para bangsawan Toraja di Desa Rinding Batut. Dalam adat masyarakat Toraja, setiap rumpun mempunyai dua jenis tongkonan tang merambu untuk manusia yang telah meninggal. Ta'pan Langkan termasuk kategori tongkonan tang merambu yang jaraknya 1,5 km dari poros jalan Makale-Rantepao dan juga dilengkapi dengan panorama alam yang mempesona.
  • Sipore' yang artinya "bertemu" adalah salah satu tempat pekuburan yang merupakan situs purbakala, dimana masyarakat membuat liang kubur dengan cara digantung pada tebing atau batu cadas. Lokasinya 2 km dari poros jalan Makale-Rantepao.

Tempat upacara pemakaman adat

"Rante"

Rante yaitu tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan 100 buah menhir/megalit yang dalam Bahasa toraja disebut Simbuang Batu. 102 bilah batu menhir yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran besar, 24 buah ukuran sedang dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran menhir ini mempunyai nilai adat yang sama, perbedaan tersebut hanyalah faktor perbedaan situasi dan kondisi pada saat pembuatan/pengambilan batu.

Megalit/Simbuang Batu hanya diadakan bila pemuka masyarakat yang meninggal dunia dan upacaranya diadakan dalam tingkat Rapasan Sapurandanan (kerbau yang dipotong sekurang-kurangnya 24 ekor).

Tau-tau

Tau-tau adalah patung yang menggambarkan almarhum. Pada pemakaman golongan bangsawan atau penguasa/pemimpin masyarakat salah satu unsur Rapasan (pelengkap upacara acara adat), ialah pembuatann Tau-tau. Tau-tau dibuat dari kayu nangka yang kuat dan pada saat penebangannya dilakukan secara adat. Mata dari Tau-tau terbuat dari tulang dan tanduk kerbau. Pada jaman dahulu kala, Tau-tau dipahat tidak persis menggambarkan roman muka almarhum namun akhir-akhir ini keahlian pengrajin pahat semakin berkembang hingga mampu membuat persis roman muka almarhum.

TONGKONAN TORAJA

Tana Toraja. Rumah adat tongkonan, menjadi ikon arsitektur di Tana Toraja. Bukan hanya sebagai tempat tinggal, di situlah segala pusat kehidupan orang toraja. Mulai dari urusan adat, pusat budaya, pusat pembinaan keluarga dan kegotongroyongan, sosial perekonomian hingga urusan kekerabatan.

Sinopsis
Bentuk dan Makna Simbolik
Rumah Adat Tongkonan Toraja
Rumah adat Toraja atau yang lebih dikenal dengan nama Tongkonan merupakan wadah atau tempat berkumpulnya para kaum bangsawan Toraja, berkumpul dan membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan adat. Secara harfiah Tongkonan berarti tempat duduk. Tulisan ini bermaksud untuk menerangkan beberapa hal sehubungan denganbentuk dan makna simbolik rumah adat tongkonan di Tana Toraja.
Sesuai dengan namanya, pemberian nama suatu tongkonan berdasarkan letak atau posisi tongkonan itu sendiri, seperti Tongkonan Belo Langi yang berarti tongkonan tempat tertinggi, juga berdasar pada nama daerah seperti Tongkonan Garampa dan arti khusus yang melekat pada tongkonan tersebut seperti Tongkonan Merbali. Adanya perbedaan struktur dari ketiga tongkonan tersebut semata-mata disebabkan karena pertimbangan banyak tidaknya ruangan dari suatu bangunan.
Perbedaan jumlah ruangan suatu tongkonan mengandung makna sosial dan ekonomi yaitu semakin banyak ruangannya semakin tinggi kedudukan tongkonan tersebut. Posisi atau letak tangga dan pintu tongkonan disesuaikan dengan konsep kepercayaan masyarakat Toraja yaitu Aluk Todolo. Pada dasarnya pola hias pada ketiga tongkonan tersebut pada umumnya banyak mengandung makna sosial, ekonomi dan religius magis terutama yang berhubungan dengan realitas kehidupan pada masyarakat Toraja.

Tongkonan berasal dari kata tongkon yang berarti duduk, kemudian dibubuhi akhiran an, maka artinya menjadi tempat duduk bersama.
Dahulu tongkonan adalah ini merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat dan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Tana Toraja. Tongkonan tidak bisa dimiliki oleh perseorangan, melainkan dimiliki secara turun-temurun oleh keluarga atau marga suku Tana Toraja.

Dengan sifatnya yang demikian, tongkonan mempunyai beberapa fungsi, antara lain: pusat budaya, pusat pembinaan keluarga, pembinaan peraturan keluarga dan kegotongroyongan, pusat dinamisator, motivator dan stabilisator sosial. Dengan demikian fungsi Tongkonan tidaklah sekedar sebagi tempat untuk duduk bersama, lebih luas lagi meliputi segala aspek kehidupan. Apabila mempelajari letak dan upacara-upacara yang dilaksanakan, melalui simbol-simbolnya akan diketahui bahwa Tongkonan adalah simbol sosial dan simbol alam raya. Oleh karena itu orang Toraja sangat men"sakral"kan Tongkonan. Memelihara Tongkonan, secara pribadi berarti memelihara diri, secara bersama-sama pula masyarakat berupaya melestarikannya.

Bentuk Tongkonan
Bentuk Tongkonan yaitu berlapis tiga, berbentuk segi empat yang melambangkan empat azas kehidupan manusia yang disebut Ada 'A 'pa eto 'na, terdiri dari kelahiran, kehidupan, pemujaan dan kematian. Segi tempat ini juga dianggap sebagai simbol dari empat penjuru angin. Tongkonan harus selalu menghadap arah utara yang melambangkan awal kehidupan, dengan
bagian belakang rumah menghadap arah selatan yang melambangkan akhir kehidupan.

Bagian-bagian Rumah
Model Tongkonan senantiasa mengikuti model desa, secara konsepsional harus bersegi empat. Struktur ruangan mengikut struktur makro-kosmos yang terdiri dari tiga lapisan benua, yakni bagian atas (Rattiangbanua), bagian tengah (kale banua) dan bagian bawah (Sulluk banua).

Bagian atas digunakan sebagai tempat menyimpan benda-benda pusaka yang dianggap mempunyai nilai sakral. Atap Tongkonan terbuat dari bambu-bambu pilihan yang disusun tumpang tindih, dikait oleh beberapa reng bambu dan diikat oleh tali bambu/rotan. Fungsi dan susunan demikian untuk mencegah masuknya air hujan melalui celah-celah, dan sebagai lubang ventilasi. Susunan bambu ditaruh di atas kaso yang terdapat pada rangka atap. Susunan tarampak minimal 3 lapis, maksimal 7 lapis, setelah itu disusun hingga membentuk seperti perahu.
Bagian tengah digunakan untuk tempat tinggal dan melakukan aktivitas di dalam rumah. Bagian tengah yang merupakan badan rumah ini berlantaikan papan kayu uru yang disusun di atas pembalokan lantai, memanjang sejajar balok utama. Dindingnya disusun dengan sambungan pada sisi-sisi papan. Dinding yang berfungsi sebagai rangka dinding yang memikul beban, terbuat dari bahan kayu uru atau kayu kecapi.
Bagian tengah sebagai ruang tempat tinggal, dibagi pula atas tiga bilik yaitu bilik bagian depan disebut Tando', berfungsi sebagai tempat beristirahat, tempat tidur nenek, kakak dan anak laki-laki serta tempat mengadakan sesajen. Jendela pada ruang Tangdo berjumlah 2 buah, menghadap ke utara. Bagian tengah disebut Sali dibagi lagi menjadi dua bagian, yakni bagian timur tempat kegiatan sehari-hari dan sebagai dapur, ruang menerima tamu, ruang keluarga, dan kamar mandi. Di bagian barat digunakan tempat persemayaman jenazah pada waktu diadakan upacara kematian.
Bagian belakang disebut Sumbung yang digunakan sebagai tempat pengabdian dan tempat tidur kepala keluarga bersama anak-anak, khususnya anak gadis, serta untuk menyimpan benda-benda pusaka. Lantainya ditinggikan pertanda bahwa penghuni Tongkonan mempunyai kekuasaan dan derajat yang tinggi. Sumbung ini berada di bagian selatan, maksudnya anak-anak gadis dan anak kecil memerlukan pengawasan ketat, dengan perlindungan dari anak-anak laki-laki yang bertempat di ruang Tando.
Bagian bawah yang merupakan kolong rumah merupakan tempat hewan peliharaan. Fondasinya menggunakan batuan gunung, diletakkan bebas di bawah Tongkonan, tanpa pengikat antara tanah, kolong dan fondasi itu sendiri.

Ragam Hias
Tongkonan dapat dilihat sebagai produk yang menampilkan nilai-nilai estetik, dengan bentuknya yang anggun disertai kekayaan ragam hias yang mengandung makna yang terkait dengan sistem budaya mereka.
Pada mulanya, orang Toraja hanya mengenal empat macam ukiran yang disebut Garonto Passura artinya dasar ukiran, antara lain pa'barre allo yaitu ukiran yang menyerupai matahari atau bulan, benda yang mulia di atas bumi berasal dari Sang Pencipta yang memberi hidup dan kehidupan bagi umatNya: pa' tedong ukiran yang menyerupai kepala kerbau, ukiran ini sebagai lambang kerja keras dan kemakmuran, oleh karenanya diletakkan pada tiang-tiang yang berdiri tegak sebagai tulang punggung bangunan, yang berarti bekerja adalah tulang punggung kehidupan; pa' manuk londong ukiran yang menyerupai ayam jantan, sebagai lambang dari norma, aturan yang berasal dari langit yang menata kehidupan manusia. Bersama-sama Pa'barre allo diletakkan di atas bagian depan Tongkonan, dan pa' sussuk yaitu ukiran yang menyerupai garis-garis lurus, sebagai lambang kebersamaan dan kesatuan dalam lingkup kerabat yang tergabung dalam kelompok Tongkonan. Ukiran ini diletakkan pada dinding bagian atas yang menghiasi ruangan. Dari keempat dasar ukiran tersebut dikembangkan terus, hingga sekarang sudah dikenal lebih dari 150 macam ukiran.

Selain motif-motif utama tersebut, ada pula motif lain yang juga memiliki makna. Motif pa'daun balu adalah daun sirih yang merupakan lambang penghormatan kepada dewa-dewa. Motif pa' bua tina adalah lambang pohon waru yang merupakan hiasan dinding rumah sebagai lambang persatuan dalam keluarga. Pa'sala'bi' dibungai berarti 'pagar' yang biasanya terdapat pada dinding dan pagar rumah bangsawan. Motif ini mengandung arti sebagai penangkal masuknya orang jahat dan mencegah penyakit sampar. Motif Pa' bunga menyerupai bunga yang melambangkan pentingnya pengetahuan bagi manusia. Pa' kangkung adalah ukiran yang menyerupai pucuk kangkung menghiasi rumah bangsawan, motif yang mengandung harapan agar senantiasa memperoleh rejeki sebagaimana kangkung yang selalu tumbuh subur di tempat berair. Pa' erong berarti peti mayat yang hanya digunakan untuk peti mayat keluarga bangsawan, yang menaruh harapan agar yang meninggal senantiasa memberi berkah kepada keluarga yang ditinggalkan. Pa 'bunga kaliki simbol bunga pepaya yang bermakna agar nasehat yang menyakitkan pun dapat membawa kebaikan dalam hidup. Pa' sisik bale lambang sisik ikan agar cita-cita yang tinggi dapat tercapai. Pa'kollong buku melambangkan leher merpati yang bermakna agar manusia dapat hidup bebas menentukan pilihannya. Motif Koyo adalah burung bangau lambang manusia yang penyabar. Pa'dara dena berarti dada burung pipit lambang keteguhan hati dan pendirian yang tetap.

JENIS TONGKONAN

TONGKONAN RUMAH ADAT TORAJA


konon bentuk tongkonan menyerupai perahu kerajaan Cina jaman dahulu

Terik sinar matahari terasa semakin menyengat mata pada saat dipantulkan oleh papan berwarna merah yang menopang sebuah bangunan dengan bentuknya bak perahu kerajaan cina, guratan pisau rajut merajut di atas papan benwarna merah membentuk ukiran sebagai pertanda status sosial pemilik bangunan, ditambah lagi oleh deretan tanduk kerbau yang terpasang/digantung di depan rumah, semakin menambah keunikan bangunan yang terbuat dari kayu tersebut. Bentuk bangunan unik yang dapat dijumpai dihampir setiap pekarangan rumah masyarakat Toraja ini, lebih dikenal dengan sebutan nama Tongkonan.

Dahulu rumah ini merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat dan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Tana Toraja. Rumah ini tidak bisa dimiliki oleh perseorangan, melainkan dimiliki secara turun-temurun oleh keluarga atau marga suku Tana Toraja. Dengan sifatnya yang demikian, tongkonan mempunyai beberapa fungsi, antara lain: pusat budaya, pusat pembinaan keluarga, pembinaan peraturan keluarga dan kegotongroyongan, pusat dinamisator, motivator dan stabilisator sosial.

Oleh karena Tongkonan mempunyai kewajiban sosial dan budaya yang juga
bertingkat-tingkat dimasyarakat, maka dikenal beberapa jenis tongkonan,
antara lain yaitu Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio' Aluk, yaitu Tongkonan tempat menciptakan dan menyusun aturan-aturan sosial keagamaan.

Tongkonan Pekaindoran atau Pekamberan atau Tongkonan kaparengngesan
yaitu Tongkonan yang satu ini berfungsi sebagai tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat, berdasarkan aturan dari Tongkonan Pesio' Aluk.
Tongkonan Batu A'riri yang berfungsi sebagai tongkonan penunjang.

Tongkonan ini yang mengatur dan berperan dalam membina persatuan keluarga serta membina warisan tongkonan. Tongkonan merupakan peninggalan yang harus dan selalu dilestarikan, hampir seluruh Tongkonan di Tana Toraja sangat menarik untuk dikunjungi sehingga bisa mengetahui sejauh mana adat istiadat masyarakat Toraja, serta banyak sudah Tongkonan yang menjadi objek wisata.

Tongkonan Marimbunna
Tongkonan tersebut terletak dikelurahan Tikala, sekitar 6 Km arah utara Rantepao. Marimbunna, merupakan nama dari orang pertama yang datang di daerah ini. Mempunyai daya tarik berupa peninggalan-peninggalan Marimbunna, yaitu: rumah sekaligus tempat mandi yang letaknya berada di atas karang, liang batu yang proses pembuatannya dipahat dengan menggunakan kayu serta ada juga kuburan Marimbunna yang diukir berbentuk perahu dan kerbau berdiri. Di sini kita juga dapat menjumpai jasad Marinbunna, yang tinggal tulangnya saja namun rambutnya tetap menempel di dahinya.

Benteng Batu

Benteng Batu adalah nama perkampungan asli orang Baruppu. Perkampungan ini terletak di Kecamatan Rindingallo, dengan jarak kurang lebih 50 Km arah utara Rantepao, didaerah ini seluruh wilayahnya dikelilingi oleh tebing. Sehingga otomatis keberadaannya terisolir dari dunia luar, untuk dapat masuk ke daerah tersebut hanya bisa melewati satu jalan yakni sebuah lorong batu yang memiliki daya tarik tersendiri. Tebing-tebing yang mengeliligi daerah ini masing-masing diberi nama, antara lain: Tebing batu, Kavu Angin dan Benteng Saji. Selain pemah dipakai untuk benteng pertahanan melawan Belanda, di tebing-tebing tersebut, terdapat kuburan dalam bentuk liang pahat maupun gua alam yang ada jasadnya. Pada setiap tahunnya, diadakan prosesi ritual penggantian pakaian jenazah yang disebut dengan to'ma' nene.

Tongkonan Bate-Banbalu

Tongkonan Bate-Bambalu terletak di Kecamatan Sa'dan Balusu, dengan jarak tempuh sekitar 2,5 Km arah timur Palopo. Didirikan sekitar abad X Masehi dan merupakan tongkonan tertua di daerah tersebut. Didirikan oleh seorang yang bernama Tanditonda, yang merupakan nenek moyang penduduk disana. Mitos yang ada menyebutkan bahwa Tanditonda adalah orang yang kaya akan kerbau dan gemar minum susu kerbau, hingga suatu saat susu-susu kerbaunya hilang dicuri orang, yang ternyata kelak si pencuri itu menjadi istrinya. Sebelum menikah dengan perempuan yang bernama Manurun Di Batara tersebut, mereka
membuat kesepakatan bahwa Tangditonda tidak boleh memukul istrinya. Namun suatu saat janji itu dilanggarnya, istrinya yang sebenarnya dewa itu akhirnya meninggalkannya menuju langit, jalan lewat pelangi, dengan meninggalkan rumah tongkonannya, dan juga tenun yang belum selesai.

Tongkonan Siguntu'

Tongkonan Siguntu' terletak di Dusun Kadundung, Desa Nonongan Kecamatan
Sanggalangi'. Dengan jarak sekitar 5 Km dari kota Rantepao, tongkonan yang unik ini dibangun oleh Pongtanditulaan. Keberadaannya yang di atas sebuah bukit menyajikan pemandangan alam yang indah mempesona, dengan dikelilingi hamparan sawah pada bagian timur serta tebing-tebing bukit Buntu Tabang, dengan keberadaan seperti ini membuat tongkonan nampak megah serasi bersatu dengan alam disekitarnya.

Tongkonan Lingkasaile-Beloraya

Tongkonan Lingkasaile adalah tongkonan yang pertama kali di daerah ini. Dibangun di kawasan Desa Balusu, 14 Km dari Rantepao, pendirinya bernama Takke Buku, keturunan Polo Padang dan Puang Gading. Tongkonan yang sudah ditumbuhi tanaman paku diatapnya ini, masih menyimpan perabot rumah tangga tempo dulu. Selain itu, tongkonan ini punya daya pikat khusus, yaitu di percaya, bila kita lewat pasti ingin menolehnya kembali. Oieh karena itulah tongkonan ini disebut dengan Lingkasaile-Beloraya, lingka sendiri berarti langkah, sedangkan Beloraya berarti menoleh kembali. Takke Buku memiliki/menyandang gelar Puang Takke Buku, beliau hidup kurang lebih pada abad ke-10. Selain Tongkonan Lengkasaile yang dibangun, ia juga membuat kuburan Bagi keluarganya yang disebut Liang Sanda Madao dan Rante Tendan yang digunakan tempat upacara pemakaman.

Tongkonan Rantewai
Tongkonan Rantewai atau Tongkonan Ranteuai, ini dibangun oleh sepasang suami istri bernama To welai Langi'na dan Tasik Rante Manurun. Didirikan sekitar abad XVII, Tongkonan ini memiliki simbol kepemimpinan, yakni tergambar pada patung kayu yang berbentuk "kepala naga" sebanyak delapan
buah. Pada tahun 1917, Seluruhpeninggalan mengenai bukti perjuangan dalam mempertahankan tanah air bisa kita dapatkan di rumah adat Tongkonan Kollo-kollo ini.

Tongkonan Penanian

Suatu nama yang manis, oleh karena "Penanian" dalam bahasa Toraja, berarti sesuatu yang bermanfaat bagi semua orang, untuk dibaca dan dinyanyikan. Tongkonan ini terletak sekitar 14 Km arah timur kota Rantepao. Tongkonan Penanian mempunyai daya tarik keindahan tersendiri. Dengan menyajikan pemandangan serta tata letak deretan lumbung padi atau Alangsura' yang berjajar rapi dan antik. Lumbung-lumbung padi ini dibangun oleh Kepala Distrik Nanggala bernama Siambe Salurapa' yang juga sebelumnya sebagai pemangku adat dalam daerah Nanggala dan sekitarnya.

Tongkonan Layuk Pattan

Tongkonan layuk pattan, terletak di desa ulusalu, sekitar 18 Km dari kota Makale. Di bawah kepemimpinan Ma'dika, pemimpin tertinggi desa ini, para generasi maupun leluhur desa senantiasa melaksanakan upacara adat rambu tuka' atau ma'bua' ditongkonan tersebut. Selain itu, tongkonan Layuk Pattan juga berfungsi sebagai tempat musyawarah aluk atau adat, yang lebih dikenal dengan istilah tondok panglisan aluk, tempat pemerintahan juga sebagai tempat pengadilan adat. Tongkonan Layuk Pattan didirikan oleh Kala' pada kira-kira abad XIV, beragam peninggalan sejarah yang dapat disaksikan disini. Selain Tau-tau berjumlah 130 buah, tempat upacara adat Rante, monumen batu menhir, juga barang pusaka lainnya seperti mawa', keris dan tombak. Desa ini juga dilengkapi dengan sebuah Benteng yang kokoh, belum pernah terkalahkan oleh musuh pada jaman dulu kala yaitu Benteng Boronan.

Perumahan Adat Palawa'

Dahulu kala ada seorang lelaki dari Gunung Sesean bernama "Tomadao" berpetualang. Dalam petualangannya ia bertemu dengan seorang gadis dari gunung Tibembeng bernama "Tallo' Mangka Kalena". Mereka kemudian menikah dan bermukim disebelah timur "desa Palawa" dan sekarang ini bernama Kulambu. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki bernama Datu Muane' yang kemudian menikahi seorang wanita bernama Lai Rangri'. Kemudian mereka beranak pinak dan mendirikan sebuah kampung yang sekaligus berfungsi sebagai Benteng Pertahanan. Ada sebuah tradisi disaat peperangan terjadi antar kampung/musuh, jika ada lawan yang menyerang dan bisa dikalahkan atau dibunuh, maka darahnya diminum dan dagingnya dicincang, tradisi ini disebut Pa'lawak. Pada pertengahan abad XI, berdasarkan musyawarah adat disepakati, mengganti nama Pa' lawak menjadi Palawa', sebagai suatu kompleks perumahan adat. Dan bukan lagi daging manusia yang dimakan, tetapi diganti dengan ayam dan disebut Palawa' manuk. Keturunan Datu Muane secara berturut-turut membangun tongkonan di Palawa'. Sekarang ini terdapat 11 buah tongkonan (rumah adat) yang urutannya sebagai berikut (dihitung mulai dari arah sebelah barat):

  1. Tongkonan Salassa' dibangun oleh Salassa';
  2. Tongkonan Buntu dibangun oleh Ne'Tatan
  3. Tongkonan Ne'Niro dibangun olek Patangke dan Sampe Bungin
  4. Tongkonan Ne'Dane dibangun oleh Ne'Matasik
  5. Tongkonan Ne'Sapea dibangun oleh Ne'Sapeah
  6. Tongkonan Katile dibangun oleh Ne'PipeTongkonan Ne'Malle dibangun oleh Ne'Malle
  7. Tongkonan Sasana Budaya dibangun oleh Ne'Malle
  8. Tongkonan Bamba II dibangun oleh Patampang
  9. Tongkonan Ne'Babu dibangun oleh Ne'Babu'
  10. Tongkonan Bamba I dibangun oleh Ne'Ta'pare.

Tongkonan Palawa' juga memiliki Rante yang disebut Rante Pa'padanunan dan Liang Tua (Kuburan Batu) di Tiro Allo dan Kamandi, selain tongkonan juga dibangun lumbung atau alang sura' tempat menyimpan padi.

Tongkonan Unnoni

Unnoni artinya, "Berbunyi dan bergabung keseluruh penjuru". Nama ini membawa nama harum bagi keturunan leluhur dari Tongkonan Unnoni, sebab beberapa turunan dari tongkonan ini menjadi Kepala Distrik yang sekaligus dilantik sebagai puang (golongan bangsawan tertinggi), di wilayah Sa'dan Balisu desa paling utara Tana Toraja. Puang, sekaligus sebagai to Parengnge' yakni sebagai pemimpin adat dan pemimpin rakyat. Turunan yang berasal dari tongkonan Unnoni antara lain ne' Tongongan, Puang ne'Menteng, Puang Bulo', Puang Pong Sitemme', Puang Ponglabba, Puang Ne' Matandung dan terakhir Puang Duma'Bulo' . Tongkonan Unnoni melahirkan atau erat hubunganya dengan Tongkonan Belo' Sa'dan,Tongkonan Rea, Tongkonan Buntu Lobo' dan Tongkonan Pambalan. Generasi Tongkonan Unnoni merupakan generas i
yang pandai menenun . Istri para pemimpin dari masing-masing Tongkonan inilah yang memiliki ketrampilan menenun secara tradisional (tenun ukir). Cara menenun ini, oleh istri pemimpin diajarkan pada rakyatnya, hingga sekarang dan dapat dilestarikan. Proses menenun Tenun Paruki' inilah, yang dipertontonkan di Tongkonan Unnoni, mulai dari cara merendam benang sampai bisa jadi selembar kain tenun yang terukir cantik dan indah, dalam ukiran motif Toraja melalui sembilan tahapan.

Tongkonan Layukna Galuga Dua dan Pertenunan Asli Sangkombang.
Tongkonan Layukna Galuga Dua merupakan salah satu tongkonan yang dijadikan pengadilan, selain digunakan untuk pengadilan terhadap pelanggaran adat yang menjadi tanggung jawab To'Perengnge, juga merupakan pusat musyawarah para pemimpin keluarga dari Tongkonan Galuga dua untuk menentukan suatu rencana. Terletak sekitar 12 Km, arah utara dari Rantepao, Tongkonan Layukna Puang Galuga Dua; ini dibangun pada tahun 1189 oleh kedua putra Galuga. Dari kedua putranya ini, masing-masing membangun Tongkonan yaitu Tongkonan Papabannu' dari putra pertama dan Banau Sura' dari putra keduanya. Tongkonan Layukna Galuga selain tongkonan keluarga Galuga Dua juga merupakan pusat pertenunan dengan bebagai motif sesuai dengan kebutuhan adat dan ciri khas budaya Toraja. Macam-macam motif tenunan adalah: Tenunan Pamiring khusus untuk sarung perempuan,Tenunan Sappa khusus untuk celana laki-laki, Tenunan Paramba' khusus untuk selimut, Tenunan Paruki' khusus taplak meja dan dekorasi atau hiasan dinding, tenunan Lando khusus tombi untuk pesta untuk pesta rambu solo' atau sapu ran
danan.

To'Barana Sa'Dan dan Pertenunan Asli Toraja

Sa'dan artinya air atau batang air, To'Barana artinya tempat beringin atau pohon beringin, To' Barana merupakan tempat pengampunan masyarakat Sa'dan dahulu kala apabila masyarakat menghadapi sesuatu kesulitan. Lokasi To'Barana pada mulanya dibentuk oleh nenek moyang keluarga To Barana yang bernama Langi' para'pak. Pada lokasi ini dijadikan perkampungan tongkonan to'. Kemudian, tongkonan ini mengalami renovasi/dibaharui oleh leluhur To'Barana' bernama Puang Pong Labba. Kira- kira dua abad yang lalu dan kemudian mengalami renovasi lagi oleh keluarga Puang Pong Padati pada tahun 1959.
Lokasi dan rumah tongkonan yang diwariskan secara turun temurun kepada generasinya ini selain sebagi tongkonan juga sebagi pusat pertenunan asli Toraja. Para wanita di sini memiliki ketrampilan pandai menenun, karena sejak kecil telah diajarkan oleh orang tuanya. Bahan baku dari bahan tenunan asli di Sa'dan adalah benang kapas yang dipintal kemudian ditenun, seiring dengan perkembangan jaman saat ini ten
un sa'dan sudah mulai menciptakan bemacam-macam motif tenun.

Perumahan asli BALIK SALUALLO SANGNGALLA', Balik Saluallo, objek yang juga tidak ketinggalan memiliki beberapa keunggulan atau keunikan tersendiri. Buburan sebagai tempat persembahan masyarakat Toraja yang masih memeluk agama Aluk Todolo (Ancester believe) dilokasi ini untuk memohon hujan pada saat musim kemarau dengan melakukan persembahan pemotongan hewan.

Pata' Padang; sebagai tempat awal bermusyawarah dan bermufakat bagi leluhur Toraja (pemimpin-pemimpin) dari seluruh pelosok di daerah Tondok Lelongan Bulan Tana Matarik Allo (Tana Toraja) untuk memutuskan/ menyatakan strategy melawan serangan dari luar daerah antara lain dari Bone.
Pemimpinnya adalah seorang yang pintar, bijaksana, gagah berani, yang bernama "Tumbang Datu" sekilas pintas otobiografi dari "Tumbang Datu", salah satu generasi dari Tongkonan balik yang memiliki daya pikat tersendiri sebagai berikut: Tumbang Datu sebagai koordinator dalam sejarah Topadatindo yang pernah mengatur strategy untuk melawan musuh yang dating dari Bone. Dan Tumbang Datu selalu berhasil mengalahkan lawannya. Temyata Tumbang Datu adalah salah seorang leluhur dari Tongkonan Balik yang memiliki kharisma tersendiri. Kepandaiannya dapat dibuktikan mengalahkan Datu Luwu beberapa kali dalam kompetisi-kompetisi keterampilan seperti: mempertandingkan ayam. Ayam siapa yang paling banyak berbunyi. Datu Luwu menyiapkan ayam jantan besar, yang hanya sekali-sekali berbunyi. Sedang Tumbang Datu menyiapkan anak-anak ayam yang baru dipisahkan dari induknya. Ternyata ayam dari Tumbang Datu lebih banyak berbunyi dan malah berbunyi terus menerus sangat ramai. Jadi Datu Luwu' merasa kalah. Dan banyak lagi, cerita yang unik yang bisa anda dengar dan terima dari objek wisata Tongkonan Balik Saluallo, yang bernilai kejujuran dan keadilan.

TEDONG / KRBAU SIMBOL STATUS SOSIAL



LATAR BELAKANG

Indonesia terdiri dari beraneka macam suku dan ras juga memiliki beraneka ragam budaya dan tradisi yang sangat unik, salh satunya adalah suku Toraja dengan tradisi budayanya yaitu upacara kematian Rambu solo. Rambu solo adalah upacara kematian untuk orang yang sudah tua ( kakek-nenek), diadakan turun temurun di tanah Toraja, Sulawesi selatan yang diadakan dengan adat yang sangat kuat. Upacara kematian ini, berbeda dengan upacara-upacara kematian biasanya. Upacara kematian Rambu Solo ini diadakan dengan sangat meriah dan mewah layaknya sebuah pesta. Namun upacara kematian ini tidak sedikitpun melambangkan upacara kematian tetapi lebih berupa pesta perayaan! Karena itu upacara kematian ini sering disebut pesta kematian. Mereka meyakini bahwa dengan mengadakan upacara adat ini roh si mati dapat diiring sampai mencapai Nirwana keabadian

Pada upacara kematian ini penggunaan simbol-simbol sangat berperan penting, salah satunya adalah penggunaan simbol kerbau sebagai syarat utama dalam upacara kematian Rambu Solo. Rambu Solo adalah upacara kematian untuk menghormati orang tua yang telah mati sebagai pertanda hormat pada si mati atas jasa-jasa semasa hidupnya. Sama seperti adat-adat daerah lain yang menggunakan simbol sebagai perlambang atau tanda dalam suatu upacara adat. Begitu juga masyarakat tanah Toraja yang menggunakan simbol kerbau sebagai tanda mereka. Mereka meyakini bahwa kerbau inilah yang nantinya akan membawa roh si mati menuju nirwana alam baka ( roh si mati menunggangi kerbau). Kerbau di keseharian kehidupan masyarakat Toraja merupakan hewan yang sangat tinggi maknanya dan dianggap suci juga melambangkan tingkat kemakmuran seseorang jika memilikinya karena harga satu ekor kerbau bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah.

Simbol adalah sesuatu yang biasanya merupakan “tanda” kelihatan yang menggantikan gagasan atau obyek. Dalam arti yang tepat simbol adalah “citra” atau imej yang menunjuk pada suatu tanda indrawi dan realitas supra indrawi, dan dalam suatu komunitas tertentu tanda-tanda indrawi langsung dapat dipahami, misalnya sebuah tongkat melambangkan wibawa tertinggi. Simbolisme dipakai sebagai alat perantara untuk menguraikan sesuatu.

Simbolisme juga sangat berperan dalam kebudayaan tanah Toraja. Simbolisme dipakai sebagai alat perantara untuk menguraikan sesuatu atau mengambarkan sesuatu misalnya pada pada pesta pernikahan, perayaan kelahiran dan pada upacara kematian. Dalam adat Sulasewi Selatan khususnya tanah Toraja pengunaan simbol-simbol erat sekali dengan kehidupan dan keseharian masyarakatnya.

Disini yang akan dibahas adalah simbol ” kerbau “ yang dipakai pada tradisi upacara kematian “ Rambu Solo “ di tanah Toraja. Keseharian masyarakat Tana Toraja, Sulawesi Selatan, tak bisa dipisahkan dengan hewan ternak kerbau. Ini berlangsung hingga sekarang. Bahkan, sebelum uang dijadikan alat penukaran transaksi modern, hewan bertanduk ini sudah kerap ditukar dengan benda lain. Selain memiliki nilai ekonomis tinggi, hewan bertubuh tambun ini juga melambangkan kesejahteraan sekaligus menandakan tingkat kekayaan dan status sosial pemiliknya di mata masyarakat.

Kerbau Tana Toraja memiliki ciri fisik yang khas ketimbang daerah lain, terutama pada warna kulitnya yang belang menyerupai sapi. Orang Toraja biasa menyebut jenis kerbau ini Tedong Bonga. Lantaran kulitnya yang aneh, maka kerbau belang memiliki arti penting dalam setiap ritual pesta kematian atau Rambu Solo. Kerbau ini diperlakukan secara khusus. Semenjak kecil sudah dikebiri oleh pemiliknya sehingga dianggap suci sebagai hewan kurban pada upacara Rambu Solo`.

Tak salah jika harga kerbau setengah albino ini menjadi mahal. Harga seekor hewan yang masuk golongan kerbau lumpur (Bubalus bubalis) itu kira-kira Rp 50 juta hingga Rp 100 juta. Jumlah yang cukup besar memang. Selain kerbau belang, kerbau biasa pun juga akan dikurbankan dalam ritual Rambu Solo`. Salah satunya bernama Bantu Pako. Kerbau berbobot 200 kilogram, harganya bisa mencapai Rp 20 jutaan. Namun, hewan tersebut nasibnya hanya untuk diadu dan dikurbankan.



Makna Kerbau Zaman Dahulu

Dahulu kerbau hanya sebagai hewan yang biasa-biasa saja yang dipakai untuk mengarap atau membajak sawah dan digunakan sebagai alat tarnsportasi rakyat yang sangat kuat. Kerbau sangat membantu didalam kelangsungan hidup masyarakat. Namun seiring bergesernya kerbau semakin dihargai karena memiliki andil besar dan berjasa didalam membantu kegiatan kerja juga kelangsungan hidup masyarakat Toraja. Selang waktu berlalu akhirnya penghargaan kepada hewan kerbau ini semakin lama semakin besar dan hewan kerbau ini didaulat dan diangkat sebagai simbol masyarakat tanah Toraja yang dianggap sangat membantu kelangsungan hidup masyarakat Tanah Toraja, karena membantu mengolah dan menyuburkan tanah persawahan mereka sebagai lumbung hidup mereka.



Makna Kerbau Sekarang

Seiring waktu berlalu akhirnya kerbau sebagai simbol masyarakat Toraja memiliki nilai yang sangat tinggi di mata masyarakat toraja dan menjadi alat tukar dengan benda lain dan akhirnya satu ekor kerbau pun memiliki nilai jual yang sangat-sangat tinggi dan tidak terjangkau oleh kaum strata bawah karena harga jualnya yang sangat tinggi dan daya beli kaum bawah tidak menjangkau. Dahulu kerbau ini digunakan dalam upacara-upacara adat oleh seluruh lapisan masyarakatvtanpa mengenal strata sosial. Namun seiring berputarnya waktu terjadi pergeseran nilai budaya dan kerbau sebagai hewan kurban yang hanya biasa-biasa saja berubah makna menjadi hewan yang sangat istimewa dan dianggap suci juga bernilai tinggi sekali bagi masyarakat Toraja, apalagi dalam upacara-upacara adat yag besar di tanah Toraja seperti salah satunya upacara adat ternama dan terbesar yaitu upacara kematian “ Rambu Solo “ yang mengunakan kerbau sebagai simbol paling utama sebagai hewan kurban dalam puncak acara prosesi upacara kematian Rambu Solo ini. Tidak layak dilaksanakan upacara Rambu Solo ini jika tidak ada kerbau untuk dikurbankan. Juga di mata masyarakat tanah Toraja kerbau pun menjadi hewan yang melambangkan kesejahteraan sekaligus menandakan tingakt kekayaan dan sebagai status sosial bagi pemiliknya di mata masyakarat.

Jenis – Jenis Kerbau

Kerbau di bagi tiga jenis sesuai tingkatan nilainya, antara lain:

• kerbau hitam biasa harganya berkisar 10-30 juta.

• kerbau balian/kerbau aduan harganya berkisar 20-90 juta.

• kerbau belang/Bonga warnanya setengah albino yang sangat mahal harganya bisa mencapai 100 juta rupiah lebih per ekor, rupanya besar kekar seperti banteng namun memiliki belang seperti sapi dan berbulu ( kerbau inilah yang sangat istimewa dan dibanggakan pada pesta kematian Rambu Solo).

Makna Kerbau Sebagai Simbol Status Sosial Dalam Tradisi Rambu Solo

Upacara kematian Rambu Solo ini menghabiskan dana/biaya yang bukan main banyaknya ( ratusan juta sampai milyaran rupiah ). Dana sebanyak itu untuk membangun rumah-rumah sementara dari bambu di tanah lapang yang sangat luas sekali untuk ratusan bahkan ribuan tamu yang diundang dari berbagi strata sosial, wisatawan asing maupun lokal yang akan datang melayat/menghadiri upacara kematian ini dan yang paling utama dari upacara ini adalah biaya pembelian kerbau-kerbau yang harganya sangat mahal sekali! ( siapa yanmg mampu membeli dan memotong kerbau paling banyak nama keluarganya akan terangkat tinggi sekali di mata masyaratnya ), harga satu ekor kerbau bisa mencapai seratus juta rupiah dan biasanya keluarganya membeli lebih dari seratus ekor kerbau.

Jadi barang siapa yang dapat mempersembahkan banyak kerbau dalam sebuah upacara kematian maka nama keluarganya akan terangkat tinggi sekali didalam masyarakat dan akan sangat dihargai juga disegani. Jadi selain karena adat masyarakat Toraja juga beranggapan bahwa pengurbanan kerbau-kerbau ini merupakan persaingan status sosial dalam masyarakat, Juga nama besar yang terelu-elukan akan mereka dapat, mereka juga mengaggap bahwa dengan banyaknya kerbau yang mereka persembahkan akan cepat mengantarkan roh si mati menuju nirwana ( konon arwah si mati menunggangi kerbau – kerbau suci tersebut ). Kerbau - kerbau ini nantinya dipotong/disembelih lalu dagingnya dibagi-bagikan kepada ratusan masyarakat yang datang pada upacara ini, pembagian daging ini juga sesuai dengan dengan kelas sosial si pelayat dalam masyarakat, jadi daging yang dibagi-bagikan kepada pelayat juga berbeda jumlah dan kualitasnya sesuai kelas/strata sosial seseorang, maksudnya ialah kelas orang terpandang mendapatkan daging yang banyak dengan kualitas daging terbaik dan kelas strata bawah hanya mendapat daging sedikit dan dengan kualitas biasa saja.

Intinya adalah hanya orang-orang berduit banyak saja yang dapat melakukan upacara Rambu Solo yang sangat erat dengan simbol kerbau yang terkenal di tanah Toraja ini.



Sudut Pandang Metafisis

Mereka mempercayai bahwa roh si mati menunggangi salah satu kerbau yang teristimewa ( kerbau belang/bonga) dan kerbau-kerbau hitam lainnya menjaga dan mengiringi perjalanan roh si mati menuju alam nirwana keabadian dan juga semakin banyak kerbau yang dikurbankan semakin cepat dosa si mati terhapuskan dan mendapat tempat di sisi-NYA, dan makin banyak kerbau yang dikurbankan juga akan melambangkan kelayakan kehidupan sang mendiang di alam baka. Dan banyaknya kerbau yang dikurbankan selain menjaga keselamatan roh si mati menuju alam nirwana juga secara tidak langsung akan meninggalkan ketentraman batin bagi seluruh keluarga yang ditinggalkan didunia.

Menurut aturan mainya keluarga yang ditinggalkan harus mengorbankan banyak kerbau atau babi untuk si mati agar kerbau dan babi tadi dapat menjaga perjalanan si mati agar terhindar dari malapetaka yang akan muncul seiring perjalanannya menuju alam nirwana. Disamping itu apabila seseorang yang meninggal dan jiwanya keluar dari jasadnya dan kemudian masuk dalam phase kehidupan baru di alam puya ( alam baka ), dan bertemu dengan penguasa alam puya bernama Puang lalodongna , yang mendapat kekuasaan penuh dari Puang matua ( Tuhan ), untuk mengatur dan menertibkan kehidupan arwah-arwah manusia yang sudah meninggal. Pada saat arwah si mati menghadap puya , ia akan ditanya sudah seberapa baikkah upacara kematianmu dilaksanakan dengan baik sesuai aturan yang berlaku? Yaitu dengan banyaknya kurban kerbau-kerbau yang dipersembahkan! jika ternyata belum selesai dan tidak sesuai aturan yang benar maka arwah si mati tidak di perbolehkan memasuki puya ( alam baka ) dan harus kembali ke dunia semula dan hidup dalam dunia antara kematian dan kehidupan ( maya ) dan arwah-arwah yang ditolak inilah yang bergentayangan dan mengganggu manusia disekelilingnya.

Konsep ajaran orang Toraja tak melihat kematian sebagai sesuatu yang harus ditakuti. Bagi mereka, kematian adalah bagian dari ritme kehidupan yang wajib dijalani. Walau boleh ditangisi, kematian juga menjadi kegembiraan yang membawa manusia kembali menuju surga, asal-muasal leluhur. Dengan kata lain, mereka percaya adanya kehidupan setelah kematian. Didalam upacara kematian Rambu Solo Kesedihan tidak terlau tergambar diwajah-wajah keluarga yang berduka, sebab mereka punya waktu yang cukup untuk mengucapkan selamat jalan kepada si mati, sebab jenazah yang telah mati biasanya disimpan dalam rumah adat ( tongkonan ), disimpan bisa mencapai hitungan tahun. Maksud dari jenazah disimpan ada beberapa alasan, pertama adalah menunggu sampai keluarga bisa atau mampu untuk melaksanakan upacara kematian Rambu Solo, kedua adalah menunggu sampai anak-anak dari si mati datang semua untuk siap menghadiri pesta kematian ini. Karena mereka menganggap bahwa orang yang telah mati namun belum diupacarakan tradisi Rambu Solo ini dianggap belum mati dan dikatakan hanya sakit, karena statusnya masih “ sakit “. Orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan sebagai orang yang masih hidup. Pada masyarakat pemeluk Aluk Todolo ( agama kepercayaan masyarakat terdahulu ), juga pada sebagian keluarga yang telah menjadi kristen atau katolik, perlakuan tadi termasuk menyediakan makanan, minuman, rokok dan sirih. Pihak keluarga juga harus selalu menjaga agar “ si sakit “ tidak mendapat gangguan dalam bentuk apapun, termasuk menjaganya pada malam hari sampai pada diupacarakan baru bisa dikatakan “ mati/meninggal”. Karena lamanya jenazah disimpan dan ada bersama diantara orang-orang hidup dalam keluarga maka sedikit demi sedikit aroma kesedihan itu terkikis dan akhirnya sampai pada upacara kematiannya kesedihan tidak terlalu tergambar pada wajah-wajah keluarga yang berduka.



KESIMPULANNYA

APA yang dilakukan dalam pesta Rambu Solo sesungguhnya hanyalah sebuah simbol. Simbol dari sebuah tradisi yang turun temurun. Sebab, dalam pelaksanaan upacara ini, ada yang lebih penting; ada makna yang terkait erat dengan kepercayaan masyarakat.

Bagi sebagian orang, tradisi ini bisa jadi dinilai sebagai pemborosan. Sebab, demikian besar biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraannya. Bahkan, ada yang sampai tertunda berbulan-bulan untuk mengumpulkan biaya pelaksanaan upacara ini; bahkan yang menyatakan, orang Toraja mencari kekayaan hanya untuk dihabiskan pada pesta kematian.

Pandangan lain menyatakan, sungguh berat acara itu dilaksanakan. Sebab, orang yang kedukaan justru harus mengeluarkan biaya besar untuk pesta. Untuk diketahui, hewan-hewan yang dikorbankan dalam upacara itu, ternyata bukan hanya dari kalangan keluarga yang meninggal, tetapi juga merupakan bantuan dari semua keluarga dan kerabat. Selain itu, hewan yang dikorbankan itu juga dibagi-bagikan, termasuk disumbangkan ke rumah-rumah ibadah. Pesta ini sesungguhnya menjadi simbol dari upaya melestarikan tradisi tolong-menolong dan gotong-royong.

Bagi masyarakat Toraja, berbicara pemakaman bukan hanya berbicara upacara, status, jumlah kerbau yang dipotong, tetapi juga soal malu (siri'). Makanya, upacara Rambu Solo juga terkait dengan tingkat stratifikasi sosial. Dulunya, pesta meriah hanya menjadi milik bangsawan kelas tinggi dalam masyarakat ini. Akan tetapi, sekarang mulai bergeser. Siapa yang kaya, itulah yang pestanya meriah.

Dalam upacara Rambu Solo ini simbol kerbau sangat berperan penting didalam membentuk konsep kelas sosial atau strata sosial di mata masyarakat Toraja dan masyarakatnya mempercayai bahwa dengan banyaknya kerbau-kerbau yang dikurbankan akan lebih cepat mengantarkan roh si mati menuju nirwana keabadian, karena kerbau-kerbau inilah yang akan mengiringi perjalanan roh si mati menuju alam baka. Dan sama sekali tidak ada kesenjangan sosial pada masyarakat kalangan bawah yang tidak dapat melaksanakan upacara Rambu Solo ini karena dengan adanya upacara kematian ini juga membawa berkah bagi rakyat kalangan bawah karena mendapat bagian daging dari kerbau-kerbau yang dipotong/disembelih. Jadi dengan adanya kerbau sebagai simbol adat dengan kehidupan masyarakat Toraja dan terlebih dalam ritual kematian Rambu Solo ini dapat menjelaskan eksistensi dari penggelar ritual ini dengan mengedepankan kerbau sebagai simbol status dari pemiliknya

BALLO/ BIR alami MINUMAN KHAS TORAJA

Orang menenggak minuman keras adalah pemandangan lumrah dan wajar ditemui di Tana Toraja. Tua muda, laki-laki dan perempuan, turut di dalamnya. Tempatnya, di mana saja, di pinggir jalan, di rumah, bahkan depan kantor polisi sekali pun.
Yang ditenggak, entah itu ballo' ataupun minuman keras buatan pabrik, pokoknya tak ada larangan.

Sejak dulu, nenek moyang orang Toraja sangat akrab dengan minuman keras. Minuman yang digemari umumnya adalah tuak enau, berasal dari cairan pohon induk atau nira (Borassus flabellifer) yang difermentasi. Saya masih ingat perkataan salah seorang kakek di kampung, ”Tannia toraya ke tae na mangngiru.” Artinya, bukan orang Toraja kalau tidak meneggak minuman keras. Sembari berkata begitu, kakek itu menawarkan ballo’ kepada saya.

Ballo’ wajib hadir dalam ritual-ritual adat Toraja, baik sebagai kelengkapan upacara maupun untuk menyambut para tamu. Bagi orang Toraja sendiri, meminum ballo’ biasa dilakukan untuk menghangatkan tubuh dari terkaman dingin, dan diyakini dapat menambah tenaga bagi peminumnya. Bukan untuk mabuk-mabukan. Jadi sangat jarang dijumpai orang mabuk karena meneggak ballo’. Minuman beralkohol rendah dengan kadar 5-10 persen ini, warnanya agak putih seperti air beras namun sangat encer. Baunya sangat khas mirip bau asam cuka dan rasanya agak pahit sedikit kecut. Orang Toraja menyebut rasa ini seperti “manis-manis jambu”.

Untuk mencicipi ballo’ di Toraja, khususnya di Pasar Makale, sangatlah mudah. Silakan saja berkeliling di sekitarnya. Tiap sudut dan perempatan jalan pasti ada yang membawa jerigen yang berisi ”Bir Toraja”. Biasanya para passari atau penyadap nira menjual langsung ballo’ dalam jerigen-jerigen 10-20 liter di seputaran pasar Makale, dan ada pula yang menjualnya ke warung-warung ballo’ dan warung makan yang banyak tersebar di pasar ini, maupun terminal regional Makale. Tak heran jika hampir seluruh dari warung makan menyajikan ballo’ sebagai ”air putih”.

Para pedagang berasal dari desa-desa di sekitar Makale menjual ballo’ yang baru diturunkan dari suke (bambu tempat menadah cairan tuak), pada pagi atau sore hari. Ballo’ sifatnyatidak tahan lama. Apabila ballo’ itu telah bermalam (ma’bongimo) maka rasanya akan menjadi ballo’ messuk (kecut), peminumnya akan sakit perut. Makanya ballo’ yang enak hanya dapat dinikmati di daerah Toraja.

Mari kita lihat di ibukota kabupaten, Makale. Di sudut barat pasar Makale, sekitar 20 warung ballo’ berderet seperti menciptakan dunia remang-remang sendiri. Barisan warung sepanjang 200 meter itu terlihat jelas karena bersampingan dengan los-los barang campuran, pakaian, dan penjual bumbu masakan. Lantaran letaknya yang begitu terbuka, warung-warung tuak tersebut seperti menjadi penyambut pengunjung pasar Makale.

Semua angkutan dan penumpang yang datang dari berbagai penjuru Makale dan sekitarnya berhenti dan turun di jalur ini. Mau tak mau, mereka akan melihat jelas aktivitas manusia-manusia di warung yang dikenal dengan sebutan galampang, yang secara harfiah berarti tempat beristirahat.

Setiap pagi dan sore hari, tong-tong plastik ukuran besar yang menampung galonan liter ballo’ dikumpulkan dari passari, baik yang melintas atau yang datang menawarkan ballo’ kepada warung-warung di galampang. Dalam sehari, tiap warung mampu menjual 50 liter lebih ballo’. Terlebih ketika hari pasar tiba, bisa-bisa mencapai 60-70 liter. Jumlah ini bergabung dengan minuman pabrik minuman beralkohol lain seperti bir, anggur, dan minuman putih yang biasa dicampurkan dengan ballo’.

Dunia remang
Galampang adalah dunia yang kompleks. Secara fisik, galampang yang berukuran 3 x 3 meter itu menjadi tempat berkumpulnya para peminum dari segala penjuru Makale sejak pasar berdiri tahun 1986. Tempat sekecil inilah yang menjadi tempat puluhan orang berpesta ballo. Bau kecut dari ballo, orang mabuk, ikan bakar, dan rayuan pelayan-pelayan warung menjadi suasana khas di galampang.

Pelayan-pelayan di sini, kebanyakan berasal dari pelosok Toraja. Selain bekerja sebagi pelayan, ada sebagian yang secara terang-terangan menawarkan layanan syahwat kepada pengunjung. Galampang memang adalah serba remang. Perempuan yang masuk dalam jeratan transaksi syahwat di galampang disebut boncis. Namun ada juga yang memanggil mereka kalli lotong. Sebutan ini mulai marak disandangkan pada mereka pada awal tahun 2000-an. Berasal dari kata kalli yang artinya celana dalam dan lotong artinya hitam. Asal muasal penyebutan bagi pekerja seks komersial di kawasan galampang ini, tak jelas dari mana. Ironis memang bahwa di galampang, dunia hitam itu terbentang di depan mata siapa saja yang bermaksud singgah beristirahat.

Orang Toraja memang senang berkumpul dan minum-minum. Lihatlah mereka berdesakan di warung-warung. Meski kapasitas pengunjung yang dapat ditampung satu warung maksimal 10 orang, orang-orang tampak tak peduli. Jika warung telah penuh, pengunjung biasanya minum di bale-bale tepat di depan warung. Ada pula yang menikmati minumannya dengan berjongkok membentuk lingkaran kecil disekitar galampang.

Jika bertepatan dengan hari pasar yang jatuh enam hari sekali, galampang akan disesaki oleh orang yang melepaskan penat setelah lelah berbelanja di pasar Makale. Mereka biasanya sekadar meminum segelas ballo’ atau sebotol bir. Harga ballo’ di sini relatif mahal dibandingkan minuman pabrik seperti bir, anggur, dan minuman putih lainnya. Untuk menikmati pahit manisnya segelas ballo’, kita harus rela mengeluarkan uang sebesar Rp3.000 - Rp5.000. Namun jika memesan satu teko, harganya agak murah, cuma Rp7.000.

Hingar bingar house-music di kawasan ini terdengar serak. Siang malam irama dari satu warung ke warung lainnya seolah saling berkejaran. Namun sekarang, karena alasan keamanan, pemilik warung harus menutup dagangannya di bawah jam 10 malam.

Di sekitar galampang juga banyak pa’kurung, atau ayam yang dikurung dan dirawat khusus. Pagi-pagi sekali, para pemilik ayam ini memandikan, memberi makan, mengurut, dan menjemur jagoan mereka di sepanjang jalan di depan galampang. Barisan kurungan ayam (salokko) yang terbuat dari anyaman bambu menjadi pemandangan yang begitu akrab. Penghuni galampang tak lepas dari judi sabung ayam, seperti orang Toraja umumnya.

Dunia Preman
Premanisme memang tak bisa dilepaskan dari denyut nadi pasar. Pria bertato, hanya mengenakan baju singlet dengan mata yang merah, membuat pengunjung pasar takut untuk melintas.”Ada orang yang kerjanya cuma nongkrong dan mabuk di warung di galampang,” kata seorang pedagang voucher pulsa ponsel, yang letak kiosnya berhadapan dengan galampang. Sambil menunjuk ke sekelompok orang yang asik menenggak ballo di sudut galampang.
Kebetulan sekali rumah saya terletak tepat di depan galampang. Dari wajah mereka saja, saya sudah mengenali.

Merekalah para laki-laki yang bermata merah, dengan rajah menghiasi tubuh, yang memegang gelas tuak, yang menguasai pasar. Saya terbiasa menerima kehadiran mereka. Kadang mereka tersenyum jika saya melintas atau sekadar mengucapkan, ”Halo sangmane!” (Hai, kawan!).

Tapi tak usah terlalu khawatir melintasi kawasan ini. Walaupun di sini sarang para pemabuk, tapi sangat jarang terdengar keributan, perkelahian dan pemalakan. Mungkin karena para penghuni galampang ini sudah saling mengenal satu sama lain atau ikatan persaudaraan mereka yang memang kuat. Kasus kriminal yang paling besar dan menggemparkan Toraja terjadi pada tahun 2001. Seorang pedagang yang bersuku Makassar menikam seorang anak sekolah mabuk yang sering memalak dagangannya di galampang.

Dulu sebelum direlokasi, galampang lama merupakan tempat gelap, sempit, dan kumuh. Bayangkan jika, seorang pemabuk bertemu pemabuk lain di tempat gelap dan sempit. Bersenggolan sedikit saja akan memicu perkelahian. Namun setelah dipindahkan, perkelahian sudah sangat jarang. Mungkin lantaran mereka bersebelahan dengan pemukiman penduduk di kawasan pasar Makale.

Masalah keamanan memang sangat dijaga oleh para pengunjung di sini. Memang, selama saya tinggal di kawasan ini, saya tak pernah mendengar kasus pencurian yang dilakukan oleh para penghuni Galampang. ”Barang-barang dagangan di kios-kios hanya ditutup dengan terpal, tak akan ada yang mencurinya,” tutur seorang salah satu pedagang campuran yang bersebelahan dengan galampang.

Sebelumnya, daerah ini adalah tempat yang paling ramai dibandingkan tempat berbelanja lainnya di pasar. Namun, setelah galampang berada disini, orang mulai enggan datang berbelanja. Mungkin karena banyak pemabuk berkeliaran. Keberadaan galampang yang berdampingan dengan pedagang komoditas lain, berakibat kurangnya pendapatan pedagang lainnya.

Relokasi galampang memang sangat bermasalah. Selain penataannya amburadul, kawasan ini sempat ditentang oleh masyarakat sekitar.

Pengunjung galampang sebenarnya bukan hanya kaum pengangguran dan preman, ada juga pegawai negeri sipil, polisi dan tentara yang sering nongkrong. Kehadiran mereka mencolok di galampang karena seragam yang dikenakan. Demikian juga anak sekolah yang membolos masih menggunakan seragam. Bahkan ada guru sekolah yang sering minum di situ.

Bagi para peminum, galampang adalah surga yang menyajikan kenikmatan seteguk ballo’ dan rayuan kalli lotong. Yang melepas lelah di sini, termasuk para pengangguran, kuli, tukang becak, tukang ojek, dan sopir angkutan umum. Mereka, rakyat yang masuk kategori marjinal dalam indikator sosial dan pembangunan ini, adalah penyumbang utama bagi denyut dan napas di galampang.

BEBERAPA BAHAGIAN KECIL OBJEK WISATA TORAJA

Benteng Buntu Barana’
Benteng Buntu Barana’ di Takala pada abad XVIII dulu dibuat Sia Ne’Salu bersama istrinya L. Ta’bi. Benteng Buntu Barana dibuat dengan basis pertahanan dalam menghadapi peperangan melawan musuh-musuh, baik yang datang dari luar maupu dari dalam. Benteng Buntu Barana’ ini diperkuat oleh dukungan dari gabungan wakil-wakil masyarakat Tobarani seperti dari Tondon, Kesu’, Madandan, Balepe’, Pangala’ dan beberapa kampung lainnya dalam suatu misi tersendiridari 10 orang yang lebih dikenal To Padatindo dalam menghadapi lawan yang datangnya dari luar Tana Toraja.

Benteng Buntu Barana’ terdiri dari 3 bagian benteng, yaitu :
1.Benteng Batu Pa’patulelean terletak pada bagian selatan.
2.Benteng Mangunda’pa agak di bawah dari Benteng Buntu Barana’
3.Benteng Buntu Barana’ pada bagian ketinggian.

Ketiga benteng ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain oleh karena merupakan satu kesatuan yang strategis sebagai benteng pertahanan yang tidak pernah terkalahkan, ketika perang melawan penjajahan Belanda, yang dipelopori oleh Tanga Layuk dan Sitto.

Pada lokasi Benteng Buntu Barana’ juga kita dapat menyaksikan panorama yang sangat indah ke beberapa penjuru seperti arah ke Bori Tallunglipu dan kota Rantepao. Jaraknya dari kota Rantepao ± 4 km.

Buntu Kalando
Daya tarik utama:
Meseum mini
Tongkonan Puang Sangalla
Lokasi desa/lembang: Sangalla
Objek wisata ini adalah Tongkonan Puang Sangalla’ yang telah difungsikan sebagai museum dan home stay, terletak di Kelurahan Kaero Sangalla’ 20 Km dari kota Rantepao. Buntuk Kalando mempunyai adat “Tanado Tananan Lantangna Kaero Tongkonan Layuk” yaitu sebagai tempat kediaman “Puang Sangalla”.
Tongkonan ini dibangun bersama dengan tiga lumbung padi (Alang Sura’). Buntu Kalando sebagai Tongkonan Tananan Lantangna Kaero Tongkonan Layuk dilengkapi dengan beraneka ragam tanduk yaitu tanduk kerbau, tanduk rusa, dan tanduk anoa terpampang di bagian muka Tongkonan dua buah kabongo’ yaitu satu kabongo’ bonga’ Sura’ dan satu kabongo’ pudu’ serta di atasnya didudukkan katik yang menyerupai langkan maega (burung elang), perlambang kebesaran.

Sebagai museum dalam tongkonan ini dilengkapi barang-barang koleksi antara lain:

Alat kerajaan Sangalla’
Pakaian adat kebesaran
Barang-barang bersejarah
Barang-barang antik
Alat-alat perang
Alat-alat ritus
Alat-alat pertanian
Alat-alat dapur
Alat-alat makan
Alat-alat minum
Barang-barang berkhasiat (balo’)
Alat-alat top seks Toraja
Dan lain-lain
Galugu Dua Sangkambong

Tongkonan
Pertenunan tradisional
• Lokasi desa/lembang: Sa’dan Manimbong Kambira
• Daya tarik utama: Passiliran (Kuburan pada pohon hidup untuk bayi yang masih belum tumbuh gigi)
• Lokasi desa/lembang: Buntu Sangalla’

Lemo

• Daya tarik utama:
Liang Paa
Tau-tau
Bangunan tongkonan sasana budaya
Lokasi desa/lembang: Lemo
Berada di km 9 jurusan Makale-Rantepao masuk 600 meter. Lemo adalah salah satu kuburan leluhur Toraja, hasil kombinasi antara ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa dengan kreasi tangan terampil Toraja pada abad XVI (dipahat) atau Liang Paa’. Jumlah lubang batu kuno ada 75 buah dan tau-tau yang tegak berdiri sejumlah 40 buah sebagai lambang prestise, status, peran dan kedudukan para bangsawan di Desa Lemo. Diberi nama Lemo oleh karena model liang batu ini ada yang menyerupai jeruk bundar dan berbintik-bintik.
Sejak tahun 1960, obyek wisata ini telah ramai dikunjungi oleh para wisatawan asing dan domestik.
Pengunjung dapat pula melepaskan keinginannya dan membelanjakan dollar atau rupiahnya pada kios-kios suvenir. Ataukah berjalan-jalan di sekitar obyek ini menyaksikan buah-buahan pangi yang ranum kecoklatan yang siap diolah dan dimakan sebagai makanan khas suku toraja yang disebut “Pantollo Pamarrasan”.

Lo’ko Mata
Lo’Ko Mata suatu lokasi yang diciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa mengambil posisi di lereng gunung Sesean pada ketinggian ± 1400m di atas permukaan laut. Suatu tempat yang sangat menawan, fantastic dan bila seseorang datang dan menyaksikan serta merenungkan ciptaan ini rasa kangen pasti ada.

Selain itu Anda dapat menyaksikan panorama alam yang sangat indah dan deru arus sungai di bawah kaki kuburan alam ini. Yang terletak di desa Pangden ±30 km dari kota Rantepao. Nama Lo’ko’ Mata diberi kemudian oleh karena batu alam yang dipahat ini menyerupai kepala manusia, tetapi sebenarnya Liang Lo’ko’ Mata sebelumnya bernama Dassi Dewata atau Burung Dewa, oleh karena liang ini ditempati bertengger dan bersarang jenis-jenis burung yang indah-indah warna bulunya, dengan suara yang mengasyikkan kadang menakutkan.

Pada abad XIV (1480) datanglah pemuda kidding yang memahat batu raksasa ini untuk makam mertuanya yang bernama Pong Raga dan Randa Tasik (I) selanjutnya pada abad XVI tahun 1675 lubang yang kedua dipahat oleh Kombong dan Lembang. Dan pada abad XVII lubang yang ketiga dibuat oleh Rubak dan Datu Bua’. Liang pahat ini tetap digunakan sampai saat ini saat kita telah memasuki abad XX. Luas areal wisata Lo’ko’ Mata ± 1 ha dan semua lubang yang ada sekitar 60 buah.

Lombok Parinding
Daya tarik utama:
Liang lo’ko
Erong
Lokasi desa/lembang: Bori’ Parinding

L o n d a

Daya tarik utama:
Liang Lo’ko’
Erong
Tau-tau
Kuburan tergantung
Lokasi desa/lembang: Sandan Way

Ma’daung Tondok

Daya tarik utama:
Patane khusus mayat bayi purba

Liang lo’ko’
Erong
Panorama
Kompleks rumah adat tradisional
Lokasi desa/lembang: Sillanan / Mebal
MISTIK!!!… Sepenggal kata yang mungkin cukup mampu mendesirkan bulu kuduk, hal itupun tepat untuk melukiskan adat Ma’daung Tondok Sillanan yang dalam pelaksanaannya penuh mengandung ritual-ritual mistis.

Obyek wisata Ma’daung Tondok terletak di Kecamatan Mengkendek 20 km arah Selatan Makale, ke arah Barat, di Desa Sillanan. Obyek ini didukung oleh obyek-obyek wisata yang sangat menarik seperti : Lo’ko’wai, To’Banga, Pangrapasan dan Ma’dandan serta Tongkonan Karua Sillanan. Di mana masing-masing memiliki daya tarik yang spesifik dan keunggulan tersendiri seperti : Lo’ko’wai; di tempat ini terdapat mayat bayi yang unik dan awet (mummy) di mana rambut, kuku, gigi serta kulitnya masih utuh meskipun umur mayat tersebut diperkirakan sudah berkisar 4 ½ abad. Mayat tersebut disakralkan oleh masyarakat di wilayah adat Ma’daung Tondok yang secara mitologis diyakini adalah keturunan dewa.

Kurang lebih 400 meter terdapat kuburan manusia purba yang terdiri dari tumpukan erong, serta beberapa liang pahat di sekitarnya. Hal lain yang bisa kita nikmati di sektor-sektor obyek ini adalah keindahan alam. Para pengunjung masih dapat menyaksikan pohon-pohon tropis yang terpelihara meskipun umurnya telah tua, dan berkhasiat obat. Perkampungan tradisional yang masih asli dan unik tempat upacara adat, suatu benteng pertahanan yang digunakan untuk memantau musuh pada sekitar abad XVI. Benteng ini tidak pernah diterobos oleh musuh pada zaman dahulu. Wilayah obyek wisata Ma’daung Tondok secara keseluruhan sampai saat ini masih terpelihara dengan baik dan siap menanti kunjungan Anda.

M a r a n t e
Daya tarik utama:
Tongkonan
Liang Paa’
Erong
Tau-tau
Lokasi desa/lembang: Tondon

Museum Londorundun

Daya tarik utama:
Rumah adat Toraja
Museum
Lokasi desa/lembang: Tallunglipu, Bolu - Rantepao
Menurut penuturan lisan orang Toraja khususnya bagi para bangsawan khususnya di Kecamatan Sa’dan Balusu’ dan Sesean bahwa Londorundun yang bergelar “Datu Manili”, adalah seorang putri yang cantik jelita yang memiliki rambut panjang dengan ukuran 17 depah 300 jengkal atau dalam Bahasa Toraja “Sang pitu da’panna, Talluratu’ Dangkananna”. Gadis jelita ini dipersunting oleh seorang raja dari Kabupaten Bone yang bernama “Datu Bendurana”.
Bukti sejarahnya adalah sebuah buku besar yang modelnya persis dengan sebuah kapal dikawal oleh dua batu kecil yang modelnya seperti perahu berada di Sungai Sa’dan di desa Malango’ (Rantepao) sebelah kanan jembatan Malango’ yang menurut cerita leluhur secara turun-temurun adalah kapal milik Datu Bendurana yang datang mencari dan menyelidiki Datu Manili (Londorundun). Mereka dipertemukan dalam jodoh dan oleh sebab itu orang Bone tidak boleh berselisih dengan orang Toraja, karena mereka mempunyai “Basse” atau “Perjanjian”. Salah satu saudara kandung Londorundun adalah “Puang Bualolo” kawin ke wilayah Sa’dan, dan menjadi leluhur pemilik Museum Londorundun yang terletak di Desa Tallunglipu, kompleks Bolu-Rantepao.

Pala’tokke

Daya tarik utama: Kuburan tergantung
Lokasi desa/lembang: La’bo’
Syahdan, dahulu ada seorang pria yang memiliki kesaktian, berbekal kesaktiannya pula Pala’ Tokke mulai memanjat tebing dengan cara merangkak untuk kemudian membuat lubang pada tebing yang digunakan untuk menancapkan kayu sebagai penahan erong (peti mayat purba). Atas jasanya maka daerah ini kemudian diberi nama Pala’ Tokke oleh masyarakat sekitar.
Berkunjung ke Pala’ Tokke dapat melihat peti mati yang menyerupai sebuah rak yang digantung pada sebuah tebing gunung.

Palawa’
Daya tarik utama:
Tongkonan
Pengrajin tenunan tradisional
Lokasi desa/lembang: Palawa’

Penanian

Daya tarik utama:
Tongkonan dan persawahan
Rante dan simbuang
Patane
Kelelawar
• Lokasi desa/lembang: Nanggala

Pongtimbang
Daya tarik utama:
Erong
Liang paa’
Lokasi desa/lembang: Baruppu’
Obyek wisata Pongtimbang terletak di desa Baruppu’ Kecamatan Rindingallo. Desa ini terkenal dengan penganut agama leluhur (Aluk Todolo) yang masih kental. Jarak lokasi dari Rantepao ± 58 km.
Obyek wisata Pongtimbang adalah salah satu liang pahat yang dibuat pertama kali oleh seorang pria bernama Pandarrak. Pongtimbang berarti sumber menerima berkat (Pong = sumber, Timbang = menerima berkat). Di desa inilah acara Ma’Nene’ (membersihkan kuburan-kuburan leluhur) setiap 5 tahun sekali dilakukan oleh masyarakat oleh karena masyarakat percaya bahwa membersihkan dan mengkafani kembali mayat-mayat yang telah lapuk pembungkusnya (balunna) adalah sesuatu yang mulia, di mana leluhur-leluhur akan senantiasa mengingat dan memberkahi turunan dan generasinya.

Potek Tengan
Daya tarik utama: Situs purba/bersejarah
Lokasi desa/lembang: Tengan
Tak kenal maka tak sayang, sesudah dikenal bisa jatuh cinta. Sungguh jatuh cinta pada obyek wisata Potok Tengan di Desa Tengan Kecamatan Mengkendek, persis di bawah kaki Gunung Kandora. Obyek wisata ini memiliki suatu rahasia yang terpendam yang pasti punya makna dan arti hidup yang sarat dengan pertanyaan.

Ya, itulah ‘Batu Suci’ sebagai penjelmaan dari mayat ‘Puang Pindakati’ istri dari Datu Sawerigading. Permaisuri Datu Sawerigading ini dipuji-puji masyarakatnya di masa silam sebagai ‘Dewi Pelindung’ (Penolong). Sebagai penghormatan bagi Dewi Pelindung ini diadakan ‘Pesta Meroek’ setiap tahun.

Generasi dari Dewi Pelindung dan datu Sawerigading, mengatur pemerintahannya dalam 3 fungsi yang disebut Tallu Borangna, yaitu pada Tongkonan Potok Tengan, dan pemimpinnya bergelar Pattole Baine, pada Tongkonan Garompa bergelar Masulosulo. Masing-masing dengan fungsi Pemimpin Tertinggi (salassa’). Penerangan dan obyek wisata sekali lagi dilengkapi dengan suatu mitos dan mungkin pasti (you believe it or not), adalah seorang yang pada zamannya dipandang sebagai Dewa dengan gelar “Tomebanuaditoke”, Tometondok Dianginni, To turunan dibentoen, To Losson di Batara Mendemme’ di Kapadanganna, Dialah “Puang Tambora Langi” si pembawa adat Sanda Saratu yakni 7777 pasal yang menjadi tatanan adat, ada’na sukaran aluk masyarakat Toraja sejak leluhur hingga kini.

Sarana prasarana menuju obyek sebagian sudah baik, tetapi sebagian pula yang masih jalan setapak model jalan kampung tempo dulu. Namun Anda tidak merasa lelah dan tiba-tiba telah berada di puncak potok tengan, oleh karena melalui jalan-jalan ke Potok Tengan ada kekuatan gaib yang mengantar Anda.

Ranpanan Kapa’
Ranpanan kapa’ adalah upacara perkawinan secara adat di Tana Toraja, yang dilaksanakan oleh orang-orang tua tempo dulu, dengan memenuhi beberapa persyaratan antara lain pihak laki-laki wajib menyerahkan mas kawin berupa “kaleke’ dan pangan”. Tetapi untuk zaman di alam modern ini, pihak laki-laki dan pihak perempuan sama-sama membiayai pesta pernikahan (toleransi atau patungan) juga pakaian pengantin telah dimodifikasi.

Ranta Tendan
Ranta Tendan adalah pusaka leluhur Puang Balusu dan keluarga-keluarga lainnya, yang digunakan untuk acara upacara Rambu Solo’ (Ma’palao). Di Rante Tendan ini kita dapat menyaksikan hadirnya puluhan dari ratusan “Simbuang Batu” sebagai pertanda , bahwa upacara Ma’palo sudah banyak kali diadakan, digunakan sejak abad X pada zaman hidupnya Puang Takke Buku. Jarak Rante Tendan dari kota Rantepao ± 15 km.

S u a y a
Daya tarik utama:
Erong
Liang Paa’
Tau-tau
Lokasi desa/lembang: Kaero

Tampangallo

Daya tarik utama:
Liang lo’ko’
Erong
Tau-tau
Lokasi desa/lembang: Kaero

Tilangga’

Daya tarik utama: Kolam alam untuk rekreasi tirta
Lokasi desa/lembang: Sarira
Tilangga’ sebagai obyek wisata pemandian alam, jaraknya ± 12 km dari kota Rantepao, arah selatan.Bila pengunjung ingin melemaskan otot-otot dan urat-urat yang penat sepanjang hari berkeliling ke objek-objek wisata, jangan lupa mandi di kolam air dingin Tilangga’. Airnya sangat jernih, dingin, sejuk dan tidak pernah kering. Dan Anda juga dapat menyaksikan ikan-ikan berwarna bersama belut-belut dalam kolam pemandian ini yang santai, tanpa merasa terusik. Pada saat ini air yang mengalir dari obyek wisata ini digunakan untuk air PAM bagi masyarakat kota Makale dan sekitarnya.

Tiro Tasik
Tiro : melihat/memandang
Tasik : laut lepas

Tiro Tasik adalah salah satu obyek wisata di mana Anda dapat menikmati laut lepas Teluk Bone. Sungguh suatu mujizat yang besar bahwa Tiro Tasik berada di tengah-tengah pegunungan, tetapi secara penglihatan dapat sangat dekat dengan laut. Juga pemandangan alamnya yang indah menawan dan hawanya yang sejuk. Tiro Tasik pada zaman dahulu dijadikan benteng pertahanan masyarakat distrik Sa’dan Matallo. Tiro Tasik adalah tanah milik Tongkonan Buntu Busia dan Sellak.

Apabila Anda berada pada lokasi ini sejauh mata memandang arah sebelah timur Anda menyaksikan Teluk Bone dengan perahu-perahu layarnya yang pantang surut sekali terkembang. Arah Selatan dengan pemandangan sebagian alam Toraja yang indah permai berhiaskan lembah, bukit, dan sawah-sawah tersusun rapi secara alamiah. Arah Barat Anda dapat melihat Gunung Sesean yang menjulang tinggi dengan batu cadasnya yang diselingi pohon-pohon arabica. Arah Utara Anda dapat menyaksikan lebatnya hutan-hutan lindung yang ditumbuhi bermacam-macam jenis pohon tropis. Sepanjang jalan ke arah obyek wisata Tiro Tasik tak jemu-jemunya menyaksikan ciptaan-ciptaan leluhur yang antik dan bergengsi. Yakni perumahan adat milik masyarakat antara lain : Tongkonan Rea, Belo Sa’dan, Tammuan Allo’ Buntu Lobo’, Pambalan, Pantu dan Belo Bua’, dengan wanita-wanitanya yang sedang mengayunkan “Balida”nya (alat tenun tradisional), untuk menenun kain-kain tradisional yang cantik dengan nama tenunan Paruki’ (Tenun Ukir). Dan bila Anda merasa haus silakan mencicipi sang suke Tuak mammi’na To Sa’dan dengan nama “Tuak Sissing Beang” yang sangat harum aromanya dan membuat si peminum bertambah semangat.

To’barana

Daya tarik utama:
Pertenunan tradisonal
Panorama tepi sungai
Lokasi desa/lembang: Sa’dan Malimbong
To’ Puang-Batualu
Perkampungan pertama (Pa’tondokan Garonto) “Puang Pangonggang” dan dua orang seperangkatannya bernama Bongi dan Paliun. Mereka adalah orang pertama (Pong Mula Tau) yang dikenal dengan nama “Tana’ Tau Tallu” yang kelak Tana’ Tau Tallu ini berpindah ke Selatan Rante Alang yang disebut Batualu (Padang di Batualu) di mana lokasi To’Puang ini terletak. Lokasi ini diberi nama To’Puang setelah dihuni (natorroi) anak dewa dari gunung Sinaji suatu tempat ketinggian sebelah selatan Batualu.

Berlarut dalam situasi sedemikian ini oleh keluarga dari leluhur Toma’tau Tallu’ di mana Pagonggang memegang tampuk kekuasaan (Puang Pagonggang) sebagai pengatur segala sesuatu di daerah yang dihuni (di daerah Batualu), namun seperangkatannya (Bongi/Paliun) tetap memegang teguh dan utuh memimpin daerah kekuasaannya masing-masing, yang tersimpul dalam idiom Toraja (Kada Bola’na Toraya) dari ketiga seperangkatan, dengan semboyan masing-masing pihak sebagai berikut :

Semboyan Puang Pagonggang berbunyi: Tomamma’ Penamile, Tomatindo Balian, Todiku Lambu Taruno, artinya bahwa Puang Pagonggang adalah pengambil inisiatif dan tidak untuk kepentingannya sendiri, tapi demi ketentraman/kemajuan masyarakat yang ada pada zaman itu.

Semboyan Bongi berbunyi : Toma’ Peniro Sumalunna Lombok artinya bahwa bongi merupakan pasukan tentara untuk keamanan/ketentraman masyarakat.

Semboyan Paliun berbunyi: Peso paele Pupakan dengan pengertian bahwa Paliun sebagai pengatur, pelaksana dan perencana.

Pada zaman pemerintahan Belanda, Puang Pong Tambing keturunan Puang Pagonggang memangku rangkap jabatan yakni pemangku adat (To Parengnge) dan kepala Pemerintahan (kepala Bua’) di masyarakat Batualu. Tampuk kepengurusan Mustika sakti Puang parranan dalam tangan puang Pong Tambing (Kepala Bua) bersama pemimpin seperangkatannya Bongi dan Paliun. Sebab itu kepala Bua’ dijabat Puang So’Nura’ dengan gelar Puang Batualu kemudian pemangku adat dijabat Puang Londong Allo. Dari Toma’tan tallu (Pong Mula Tau) mulai dari angkatan pertama sampai angkatan So’Mule (Perenge’ Tongkonan Dua), Tanete, terasa baik dan terwujud hikmat sehingga lokasi To’Puang dan daerah sekitar To’Puang juga memiliki mitos yang spesifik dapat dijadikan suatu objek potensial untuk berwisata.